Sunday, May 27, 2007

Setahun Sabtu Kelabu, 27 Mei 2006-27 Mei 2007


Sebenarnya saya tidak sengaja mengalami peristiwa Gempa Yogyakarta Mei 2006 ini, karena sejak Desember 2005 saya ditugaskan belajar ke Malaysia. Perkuliahan sedang libur dan awal bulan Juni saya ditugaskan mengikuti seminar internasional di Bandung, membuat saya memutuskan untuk mempersiapkan seminar itu di rumah.

Di saat rasa rindu kami kepada tanah air kampung halaman ibu-bapa anak-istri saudara dan handai taulan belum terobati, bencana itu terjadi. Sabtu, 27 Mei 2006 jam 05:50 pagi. Benar-benar peristiwa hebat, karena selama ini kami berbangga dengan tanah kami. Daerah yang di tengah-tengah, bukan kota, bukan desa. Mau ke gunung dekat, ke laut tidak jauh. Tidak pernah ada banjir, atau kemarau panjang. Barangkali itu yang membuat kami terlena. Banyak yang masih malas bangun saat peristiwa terjadi. Wajar jika banyak yang meninggal atau terluka parah.

Sabtu itu benar-benar kelabu, Sad Saturday.

Hebatnya detik-detik itu membuat semua orang hanya mementingkan diri sendiri, suami lupa istri, anak lupa bapak, bahkan ibupun lupa anaknya. Detik-detik itu memang seperti kiamat kecil. Anehnya pasca malapetaka, banyak yang jadi lupa diri.

Luasnya wilayah yang mengalami malapetaka dan banyaknya warga yang tertimpa, membuat kami sangat potensial untuk dijadikan komoditas politik, komoditas ekonomi, ladang bisnis mencekik saudara sendiri, komoditas hiburan sampai ada wisata gempa segala, ladang penjarahan, komoditas research, ... dan sebagainya.

Padahal harusnya peristiwa itu dijadikan bahan introspeksi, tetapi justru banyak yang tertutup kedua mata dan mata hatinya, bahkan penguasanya sekalipun. Di corong radio & tivi, beliau siarkan iklan layanan masyarakat, "Saudara-saudaraku. Setelah gempa utama, yang akan terjadi hanyalah gempa susulan yang pasti tidak membahayakan lagi. Kami menghimbau kepada rakyatku untuk bersiap bangkit kembali. Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu digembleng oleh keadaan. Digembleng hampir hancur lebur, bangkit kembali... x3. Sekarang sudah aman untuk kembali ke rumah masing-masing. Jangan tidur di luar rumah. Anda bisa jatuh sakit, sekarang sudah aman tidur di dalam rumah ..." -Wah pak, gaya sampeyan koyo Bung Karno, ning omahku wis ambruk je, ngendikane kok nylekit-

Ada juga di antara kami yang justru melakukan perbuatan memalukan di hadapan Tuhan dengan menyombongkan kemiskinannya. Masya Allah.

Memang waktu itu kami hanya berpikir, bagaimana menyambung hidup. Bantuan dari manapun, apapun, dari siapapun, dari yang ikhlas sampai yang tidak ikhlas akan kami terima dengan tangan terbuka.

Dari obat bermerk, obat generik sampai obat yang kedaluwarsa kami terima. Dari nasi bungkus, sirup, roti kaleng sampai indomie 'expired' tidak kami tolak.


Semestinya, peristiwa itu membuat kami tersadar, bahwa semua hanya milik Allah semata. Tiada sesuatupun yang berhak untuk kami miliki, sekalipun rasa memiliki itu sendiri.

Ini musibah, ujian atau azab? Jangan-jangan tuhan sudah bosan melihat tingkah kami? A'udzubillah, semoga bukan itu yang terjadi.

"Ya Allah, jangan biarkan kami tersesat. Ampunilah kami. Ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului, angkatlah derajad mereka tinggi-tinggi di sisi-Mu."